Jumat, 27 Agustus 2010

KORUPTOR = PENGHIANAT = ATHEIS


Eko Edi Putranto
Eko Edi Putranto
Nama: Eko Edi Putranto
Tempat /Tanggal Lahir: Jakarta, 9 Maret 1967
Alamat Terakhir: Jalan Widya Chandra 5 No. 21 Jakarta Selatan
Pekerjaan: Mantan Komisaris PT BHS
Kasus: Korupsi
Status: Buron sejak 30 Oktober 2006

Riwayat Kasus
Nama Eko Edi Putranto tidak bisa dipisahkan dari terpidana ayahnya, Hendra Rahardja, pemegang saham terbesar PT Bank Harapan Sentosa dan ibunya Sherny Konjongian, Direktur Kredit PT BHS. Selain menjabat komisaris di bank tersebut, ia pun memegang 15 persen saham.

Dalam sidang in absentia, Eko dinyatakan bersalah oleh PN Jakarta Pusat, 22 Maret 2001 dan dijatuhi hukuman 20 tahun penjara. Menurut majelis hakim Eko terbukti melakukan tindak pidana korupsi yang menyebabkan kerugian negara sebesar Rp 1,95 triliun. Putusan itu diperkuat di tingkat banding Pengadilan Tinggi DKI Jakarta 8 November 2002.

Tindak pidana korupsi Eko dilakukan bersama-sama dengan Hendra dan Sherny Konjongian. Dalam rentang 1992-1996, Eko bersama dua rekannya selain pemberian kredit kepada enam perusahaan grup juga memberikan persetujuan untuk memberikan kredit kepada 28 lembaga pembiayaan yang merupakan rekayasa.

Karena kredit tersebut oleh lembaga pembiayaan disalurkan kepada perusahaan grup dengan cara dialihkan dengan menerbitkan giro kepada perusahaan group tanpa melalui proses administrasi kredit dan tidak dibukukan. Selanjutnya beban pembayaran lembaga pembiayaan kepada PT. BHS dihilangkan dan dialihkan kepada perusahaan grup.

Kejaksaan Agung terakhir kali mendeteksi Eko di Australia Barat. Kejaksaan Agung sudah mengirim permintaan resmi ke Australia untuk membawa Eko bersama buronan lain, Adrian Kiki Ariawan. Namun, permintaan itu ditolak pemerintah Canberra.



Kasus mantan Presiden Komisaris Bank Modern, Samadikun Hartono, belum tuntas. Beritanya bergulir dari waktu ke waktu, bak bola salju yang terus menggelinding. Kasus berawal dari penyalahgunaan bantuan likuiditas Bank Indonesia (BLBI) oleh Bank Modern pada mana ia menjadi tersangka. Kemudian tersangka berobat ke Jepang ketika perkara sedang digelar. Terakhir kaburnya Samadikun Hartono sebelum dieksekusi.
Kaburnya, bos Bank Modern tersebut hanya sedikit membuat kaget berbagai kalangan, karena hal seperti ini bukan hal baru di Indonesia. Sederet nama para koruptor yang melarikan diri antara lain, almarhum







Nama: Sudjiono Timan alias Yu Djin
Lahir: Jakarta 9 Mei 1959
Pekerjaan: Direktur Utama Bahana Pembinaan Usaha Kecil
Alamat Terakhir:
1.Jalan Prapanca No. 3/P.1 Kebayoran baru Jakarta Selatan
2. Jalan Diponegoro No. 46 Jakarta Pusat
Kasus: Korupsi
Status: Buron sejak 7 Desember 2004



Riwayat Perkara
Panggilannya Timan. Jabatan terakhirnya adalah Direktur Utama PT Bahana Pembinaaan Usaha Indonesia atau BPUI (1995-1997). Pria ini terutama dipersalahkan karena sebagai orang nomor satu di BPUI, mengucuran kredit tanpa pertimbangan kelayakan kepada Kredit Asia Finance Limited (milik Agus Anwar), Festival Company Incoporated (didirikan bersama Prayogo Pangestu), dan Penta Investment Limited. Akibat tindakan Timan, negara dirugikan Rp 369,4 miliar dan US$ 178,9 juta.

Dalam persidangan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, 31 Juli 2001, jaksa Budiman Rahardjo menuntut Timan dengan hukuman penjara 8 tahun penjara, denda Rp 30 juta dan ganti rugi sebesar Rp 1 triliun. Namun majelis hakim mementahkan dakwaan jaksa dengan alasan, kasus Timan bukan perkara pidana melainkan perdata.

Pada 25 November 2002, Timan divonis bebas murni oleh majelis hakim PN Jakarta Selatan yang diketuai oleh I Dewa Gde Putrajadnya. Jaksa mengajukan kasasi ke MA.

Dua tahun kemudian, 3 Desember 2004, majelis hakim MA yang dipimpin Bagir Manan memvonis Timan dengan hukuman 15 tahun penjara, denda Rp 50 juta dan uang pengganti sebesar Rp 369 miliar.

Ketika kejaksaan akan melakukan eksekusi, 7 Desember 2004, Timan sudah tidak dijumpai di dua rumahnya, di Jalan Prapanca No. 3/P.1 Kebayoran baru Jakarta Selatan dan Jl. Diponegoro No. 46 Jakarta Pusat.

Lelaki yang memiliki tinggi badan 170 cm dan itu diduga melarikan diri ke Singapura dan menetap di Admare Park Singapura. Hingga sekarang, dia ditetapkan sebagai buron korupsi. TN

Nunun Nurbaeti

Nunun Nurbaeti
Nama: Nunun Nurbaeti
Tempat/Tanggal Lahir: - 28 September 1951
Jenis Kelamin: Perempuan
Kewarganegaraan: Indonesia
Alamat Terakhir: Jalan Cipete Raya No. 39, Jakarta Selatan
Pekerjaan: pemilik PT Wahana Esa Sejati
Kasus: Dugaan suap pemilihan deputi senior BI Miranda Goeltom 2004
Status: Saksi
Riwayat Kasus
Nama Nunun Nurbaeti disebut-sebut jaksa dalam dakwaannya di persidangan kasus cek pelawat dengan terdakwa mantan anggota DPR, Dudhie Makmun Murod. Jaksa menyebut Nunun sebagai pengirim cek pelawat setelah terpilihnya Miranda Goeltom terpilih sebagai deputi gubernur senior BI.
Di bawah sumpah, sejumlah saksi dan terdakwa kasus ini mengungkapkan bahwa cek suap sekitar Rp 24 miliar mengalir dari kantor perusahaan Nunun di Jalan Riau, Jakarta Pusat kepada 48 anggota DPR. Bahkan Arie Malangjudo, salah satu direktur PT Wahana Esa Sejati, mengaku membagikan cek suap kepada perwakilan empat fraksi di Komisi Keuangan dan Perbankan DPR periode 1999-2004 beberapa jam setelah Miranda terpilih.
Istri Adang Daradjatun [eks wakil kepala Polri] itu berkali-kali membantah keterangan para saksi dan terdakwa. Namun dia mengaku kenal Arie.

Rico Hendrawan

Rico Hendrawan
Nama: Rico Hendrawan
Tempat/Tanggal Lahir: Jakarta, 1 Januari 1965
Pekerjaan: Direktur Bank Global
Alamat Terakhir: Jakarta
Kasus: Korupsi
Status: Buron
Riwayat Kasus
Rico adalah Direktur PT Bank Global Internasional, bank yang ditutup oleh pemerintah sejak 14 Desember 2004 karena terlilit reksadana fiktif dan memberikan informasi yang menyesatkan.
Bersama dengan direksi lainnya, pemegang saham publik menggugat Rico yang diduga telah melakukan kejahatan perbankan. Nilainya sekitar Rp 400 miliar.
Para penggugat terdiri dari para pemegang saham antara lain PT Insight Investments, PT Insight Investment Management, Dana Pensiun Perumnas dan Dana Pensiun Krakatau Steel. Mereka menggugat Bank Global karena telah melakukan perbuatan melawan hukum yakni telah menyampaikan informasi yang menyesatkan (misleading statement) berkaitan dengan penawaran umum obligasi subordinasi I.
Rico diduga telah mengirim surat ke PT Bank Niaga Corporate Trust Division (wali amanat) pada 2 Desember 2004, yang menginformasikan bahwa Bank Global masih dalam keadaan sehat. Karena masih percaya, para penggugat tidak menjual atau melepas obligasi yang dimilikinya. Belakangan diketahui, Bank Global mengalihkan dana nasabah ke reksadana fiktif.

Sherny Kojongian

Sherny Kojongian
Nama: Sherny Kojongian
Tempat/Tanggal Lahir: Manado 8 Pebruari 1963
Jenis Kelamin: Perempuan
Kewarganegaraan: Indonesia
Alamat Terakhir: Taman Kebon Jeruk Blok B.1.8 No. 6 Jakarta Barat
Pekerjaan: Direktur Internasional/HRD dan Direktur Kredit BHS
Kasus: Korupsi
Status: Buron

Riwayat Kasus
Sebagai direktur kredit /HRD/treasury PT Bank Himpunan Saudara atau BHS, Sherny Konjongian telah memberikan persetujuan memberikan kredit Bank kepada 6 (enam) perusahaan group antara 1992-1996.

Selain pemberian kredit kepada perusahaan group, dia juga memberikan persetujuan untuk memberikan kredit kepada 28 lembaga pembiayaan yang ternyata merupakan rekayasa.
Kredit-kredit itu disalurkan kepada perusahaan group dengan cara dialihkan atau disalurkan dengan menerbitkan giro kepada perusahaan group tanpa melalui proses administrasi kredit dan tidak dicatat.
Lalu beban pembayaran lembaga pembiayaan kepada BHS dihilangkan dan dialihkan kepada perusahaan group.

Akibat perbuatan Sherny bersama negara dirugikan Rp. 1,9 triliun.

Bersama Hendra Rahardja [komisaris utama dan pemegang saham BHS] dan Eko Edi Putranto [penerbit surat penunjukan loan committee], Sherny disidang secara in absentia di PN Jakarta Pusat.
Dia dinyatakan buron setelah Pengadilan Tinggi DKI Jakarta Nomor menguatkan putusan PN Jakarta Pusat, 8 November 2002.



Jakarta - Terdakwa Aulia Pohan, menyebut nama besannya, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, saat membacakan pembelaan dalam sidang kasus dugaan korupsi aliran dana Bank Indonesia (BI).

"Tuduhan kepada saya kental dengan nuansa politis, seandainya saya bukan besan presiden mungkin saya tidak akan berada di pengadilan ini," kata Aulia, saat membacakan nota pembelaan, atau pledoi, di depan Majelis Hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, Jumat (12/6).

Aulia menyatakan posisinya sebagai besan presiden membuat dia merasa disudutkan dalam kasus ini. Ditegaskannya, tuduhan terhadap dirinya adalah bentuk politisasi terhadap hubungan personalnya dengan Yudhoyono. "Saya sebelumnya diperiksa sebagai saksi, lalu ditetapkan jadi tersangka karena posisi saya sebagai besan SBY dipolitisasi," ungkap dia

Tidak ada komentar: