Rabu, 25 Agustus 2010

PEMIKIRAN SUKARNO

saya mengucap syukur alhamdulillah kepada Allah Subhanahu wata'ala,
bahwa kita mendirikan negara Indonesia bukan di dalam sinarnya bulan purnama, tetapi di
bawah palu godam peperangan dan di dalam api peperangan. Timbullah Indonesia Merdeka, Indonesia Merdeka yang digembleng dalam api peperangan, dan Indonesia Merdeka yang demikian itu adalah negara Indonesia yang kuat, bukan Negara Indonesia yang lambat laun menjadi bubur. Karena itulah saya mengucap syukur kepada Allahs.w.t.

%%%%%
Jangan mengira bahwa dengan berdirinya Negara Indonesia Merdeka itu perjoangan kita telah berakhir. Tidak! Bahkan saya berkata: Di-dalam Indonesia Merdeka itu perjoangan kita harus berjalan t e r u s, hanya lain sifatnya dengan perjoangan sekarang, lain coraknya. Nanti kita, bersama-sama, sebagai bangsa yang bersatu padu, berjoang terus menyelenggarakan apa yang kita cita-citakan di dalam Panca Sila. Dan terutama di dalam zaman peperangan ini, yakinlah, insyaflah, tanamkanlah dalam kalbu saudara-saudara, bawa Indonesia Merdeka tidak dapat datang jika bangsa Indonesia tidak mengambil risiko, -- tidak berani terjun menyelami mutiara di dalam samudera yang sedalam-dalamnya.
Jikalau bangsa Indonesia tidak bersatu dan tidak menekad-mati-matian untuk mencapai merdeka, tidaklah kemerdekaan Indonesia itu akan menjadi milik bangsa Indonesia buat selama-lamanya, sampai keakhir jaman! Kemerdekaan hanya- lah diperdapat dan dimiliki oleh bangsa, yang jiwanya berkobar-kobar dengan tekad "Merdeka, -- merdeka atau mati"!

%%%%%
berilah aku seribu juta dollar dan disaat itu pula engkau tampar mukaku dihadapan umum, maka sekalipun ini nyawa tantangannya aku akan berkata kepadamu, "Persetan !" Manusia Indonesia hidup dengan getaran perasaan. Kamilah satu‐satunya bangsa di dunia yang mempunyai sejenis bantal yang dipergunakan sekedar untuk dirangkul. Di setiap tempat‐tidur orang Indonesia terdapat sebuah bantal sebagai kalang hulu dan sebuah lagi bantal kecil berbentuk bulat panjang yang dinamai guling. Guling ini bagi kami gunanya hanya untuk dirangkul sepanjang malam.
Aku menjadi orang yang paling menyenangkan didunia ini, apabila aku merasakan arus persahabatan, sirnpati terhadap persoalan‐persoalanku, pengertian dan penghargaan datang menyambutku. Sekalipun ia tak diucapkan, ia dapat kurasakan. Dan sekalipun rasa‐tidak senang itu tidak diucapkan, aku juga dapat merasakannya. Dalam kedua hal itu aku bereaksi menurut instink.

%%%%%%%%%%



Aku ingin agar Indonesia dikenal orang. Aku ingin memperlihatkan kepada dunia, bagaimana rupa orang Indonesia. Aku ingin menyampaikan kepada dunia, bahwa kami bukan "Bangsa yang pandir" seperti orang Belanda berulang‐ulang kali mengatakan kepada kami. Bahwa kami bukan lagi "Inlander goblok hanya baik untuk diludahi" seperti Belanda mengatakan kepada kami berkali‐kali. Bahwa kami bukanlah lagi penduduk kelas kambing yang berjualan menyuruknyuruk dengan memakai sarung dan ikat kepala, merangkak‐rangkak seperti yang dikehendaki oleh majikan‐majikan kolonial dimasa yang silam.
Setelah Republik Rakyat Tiongkok, India, Uni Soviet, dan Amerika Serikat, maka kami adalah bangsa yang ke lima di dunia dalam hal jumlah penduduk. 3000 dari pulau‐pulau kami dapat didiami. Tapi tahukah Saudara berapa banyak rakyat yang tidak mengetahui tentang Indonesia? Atau dimana letaknya? Atau tentang warna kulitnya, apakah kami sawomatang, hitam, kuning atau putih?. Yang mereka ketahui hanya nama Sukarno. Dan mereka mengenal wajah Sukarno. Mereka tidak tahu, bahwa negeri kami adalah rangkaian pulau yang terbesar di dunia. Bahwa negeri kami terhampar sepanjang 5.000 kilometer atau menutupi seluruh negeri‐negeri Eropa sejak dari pantai Barat benuanya sampai keperbatasan paling ujung di sebelah Timur. Mereka tidak tahu, bahwa kami sesudah Australia adalah negara keenam terbesar, dengan luas tanah sebesar dua juta mil persegi. Mereka umumnya tidak menyadari, bahwa kami terletak antara dua benua, benua Asia dan Australia, dan dua buah Samudra raksasa, Lautan Teduh dan Samudra Indonesia. Atau, bahwa kami menghasilkan kopi yang paling baik
didunia; dari itu timbulnya ucapan: "A cup of Java". Bahwa setelah Amerika Serikat dan Uni Soviet maka Indonesialah penghasil minyak yang terbesar di Asia Tenggara dan penghasil timah yang kedua terbesar di dunia, negara terkaya di alam semesta dalam hal sumber alam. Atau, bahwa satu dari empat buah ban mobil, Amerika dibuat dari karet Indonesia. Namun apa yang mereka mau tahu hanya nama Sukarno.

%%%%%%%%
John F. Kennedy dan aku saling menyukai pergaulan kami satu sama lain. Dia berkata, "Presiden Sukarno, saya sangat mengagumi Tuan. Seperti saya sendiri, Tuan mempunyai pikiran yang senantiasa menyelidiki dan bertanya‐tanya. Tuan membaca segala‐galanya. Tuan sangat banyak mengetahui." Lalu dia membicarakan cita‐cita politik yang kupelopori dan mengutip bagian‐bagian dari pidato‐pidatoku.
Aku adalah kepunyaan rakyat. Aku harus melihat rakyat, aku harus mendengarkan rakyat dan bersentuhan dengan mereka. Perasaanku akan tenteram kalau berada diantara mereka. Ia adalah roti kehidupan bagiku. Dan aku merasa terpisah dari rakyat jelata. Kudengarkan percakapan mereka, kudengarkan mereka berdebat, kudengarkan mereka berkelakar dan bercumbu‐kasih. Dan aku merasakan kekuatan hidup mengalir keseluruh batang tubuhku.

%%%%%%
"Perempuan tak ubahnya seperti pohon karet. Dia tidak baik lagi setelah tigapuluh tahun." Katakanlah, aku bereaksi lebih baik terhadap wanita. Wanita lebih mengerti. Wanita lebih bisa turut merasakan. Kuanggap mereka memberikan kesegaran. Justru wanitalah yang dapat memberikan ini kepadaku.

%%%%%%
IBU telah memberikan pangestu kepadaku ketika aku baru berumur beberapa tahun. Di pagi itu ia sudah bangun sebelum matahari terbit dan duduk di dalam gelap di beranda rumah kami yang kecil, tiada bergerak. Ia tidak berbuat apa‐apa, ia tidak berkata apa‐apa, hanya memandang arah ke Timur dan dengan sabar menantikan hari akan siang. Akupun bangun dan mendekatinya. Diulurkannya kedua belah tangannya dan meraih badanku yang kecil ke dalam pelukannya. Sambil mendekapkan tubuhku ke dadanya, ia memelukku dengan tenang. Kemudian ia berbicara dengan suara lunak, "Engkau sedang memandangi fajar, nak." Ibu katakan kepadamu, kelak engkau akan menjadi orang yang mulia, engkau akan menjadi pemimpin dari rakyat kita, karena ibu melahirkanmu jam setengah enam pagi di saat fajar
mulai menyingsing.
%%%%%%
Tempe adalah bungkah yang lunak dan murah terbuat dari kacang kedele yang diberi ragi. Negeri tempe berarti negeri yang lemah. Itulah kami jadinya. Kami terus‐menerus dikatakan sebagai bangsa yang mempunyai otak seperti kapas. Kami menjadi pengecut; takut duduk, takut berdiri, karena apapun yang kami lakukan selalu salah. Kaml menjadi rakyat seperti dodol dengan hati yang kecil. Kami lemah seperti katak dan lembut seperti kapok. Kami menjadi suatu bangsa yang hanya dapat membisikkan, "Ya tuan", Sampai sekarang orang Indonesia masih terbawa‐bawa oleh sifat rendah diri,
yang masih saja mereka pegang teguh secara tidak sadar.

Seorang pemimpin hanya tertarik pada soal‐soal politik. Bahunya bukanlah tempat bersandar untuk menangis. Atau tangannya bukanlah tempat merebahkan diri dengan enak.

%%%%%

Kuhisap masuk tubuhku bau daripada sisa makanan yang sudah busuk dan bau selokan‐selokan yang melemaskan, dan kulekatkan dengan kuat di dalam lobang hidungku bau busuk daripada kemelaratan rakyatku, sehingga sekalipun aku pergi 10.000 mil dari sungai aku masih tetap menciumnya. Aku
memandang ke dalam keputusasaan dari setiap laki‐laki dan perempuan yang kulihat. Aku terhanyut bersama rakyatku. Rakyatku yang miskin lagi papa. Dari jembatan aku menoleh ke arah massa yang seperti semut banyaknya dan aku mengerti sejelas‐jelasnya, bahwa inilah kekuatan kami. Dan aku menyadari sesadar‐sadarnya akan penderitaan mereka. Sekalipun anak kecil tak akan dapat menahan rawan hatinya pada waktu pertama kali melihat kata‐kata peringatan di kolam‐renang yang berbunyi, "Terlarang bagi anjing dan bumiputera." Anjing didahulukan. Dapatkah seorang manusia tidak tersinggung perasaannya, apabila seorang kondektur Bumiputera harus menundukkan kepala kepada setiap Belanda yang menaiki tremnya? Aku seorang anak berumur 14 tahun ketika mukaku ditampar oleh seorang anak berhidung panjang, tak lain hanya disebabkan karena aku seorang inlander. Apakah menurut pendapatmu tindakan‐tindakan yang demikian itu tidak meninggalkan gores luka dalam hati?

%%%%%

Aku tak pernah sebelumnya bertamu kerumah seperti ini. Pekarangannya menghijau seperti beludru. Kembangkembang berseri tegak baris demi baris, lurus dan tinggi bagai prajurit. Aku tidak punya topi untuk
dipegang, karena itu sebagai gantinya aku memegang hatiku.Dan disanaIah aku berdiri, gemetar, dihadapan bapak dari puteri gadingku, seorang yang tinggi seperti menara yang memandang ke bawah langsung kepadaku seperti aku ini dipandang sebagai kutu di atas tanah. "Tuan," kataku. "Kalau tuan tidak berkeberatan, saya ingin minta anak tuan." , "Kamu? Inlander kotor, seperti kamu? sembur tuan Hessels, "Kenapa kamu berani‐beranian mendekati anakku? Keluar, kamu binatang kotor. Keluar!" Dapatkah orang membayangkan betapa aku merasa seperti didera dengan cambuk? Dapatkah kiranya orang percaya, bahwa noda yang dicorengkan di mukaku ini pada satu saat akan pupus sama sekali? Sakitnya adalah sedemikian, sehingga di saat itu aku berpikir, "Ya Tuhan, aku tak akan dapat melupakan ini." Dan jauh dalam lubuk hatiku aku merasa pasti, bahwa aku tidak akan dapat melupakan dewiku yang berparas bidadari itu, Mien Hessels.
23 tahun kemudian, yaitu tahun 1942. Jaman perang. Aku sedang melihat lihat etalase pada salah satu toko pakaian laki‐laki di suatu jalanan Jakarta, ketika aku mendengar suara di belakangku, "Sukarno?" Aku berpaling memandangi seorang wanita asing, "Ya, saya Sukarno. "Dia tertawa terkikik‐kikik, "Dapat kau menerka siapa saya ini?" Kuperhatikan dia dengan saksama. Dia seorang nyonya tua dan gemuk. Jelek, badannya tidak terpelihara. Dan aku menjawab, "Tidak, nyonya. Saya tidak dapat menerka. Siapakah Nyonya?", "Mien Hessels," dia terkikik lagi. Huhhhh! Mien Hessels! Puteriku yang cantik seperti bidadari sudah berubah menjadi perempuan seperti tukang sihir. Tak pernah aku melihat perempuan yang buruk dan kotor seperti ini. Mengapa dia membiarkan dirinya sampai begitu. Dengan cepat aku memberi salam kepadanya, lalu meneruskan perjalananku. Aku bersyukur dan memuji kepada Tuhan Yang Maha Penyayang karena telah melindungiku.

%%%%%%

"Negeri kita, saudara, adalah tanah yang subur, sehingga kalau orang menanamkan sebuah tongkat ke dalam tanah, maka tongkat itu akan tumbuh dan menjadi sebatang pohon. Sekalipun demikian rakyat menderita kekurangan dan kemelaratan adalah beban yang harus dipikul sehari‐hari.
Puncak gunung menghisap awan di langit, turun ke bumi dan negeri kita diberi rahmat dengan hujan yang melimpah‐limpah. Akan tetapi kita kekurangan makan dan perut kita menjerit‐jerit kelaparan.
"Saudara tahu apa sebabnya, saudarasaudara? Sebabnya ialah, oleh karena orang yang menjajah kita tidak mau menanamkan uang kembali untuk memperkaya bumi yang mereka peras. Penjajah hanya mau memetik hasilnya. Ya, mereka menyuburkan bumi kita ini. Betul! Akan tetapi tahukah saudara dengan apa mereka menyuburkan bumi kita ini? Tahukah saudara apa yang dikembalikan ke bumi kita ini setelah 350 tahun menjajah? Saya akan ceritakan kepada saudara‐saudara. Bumi kita ini mereka suburkan dengan mayat‐mayat yang bergelimpangan dari rakyat kita yang mati karena kelaparan, kerja keras dan hanya tinggal tulang belulang!, Maka dari itu saya bertanya, apakah saudara tidak setuju dengan saja? Seperti saya sendiri, apakah hati saudara tidak digoncang‐goncang oleh keinginan untuk merdeka? Saya pergi tidur dengan pikiran untuk merdeka. Saya bangun dengan pikiran untuk merdeka. Dan saya akan mati dengan cita‐cita untuk merdeka didalam dadaku.

%%%%%

Sementara mendayung sepeda tanpa tujuan —sambil berpikir— aku sampai di bagian selatan kota Bandung, suatu daerah pertanian yang padat dimana orang dapat menyaksikan para petani mengerjakan sawahnya yang kecil, yang masing‐masing luasnya kurang dari sepertiga hektar. Oleh karena beberapa hal perhatianku tertuju pada seorang petani yang sedang mencangkul tanah miliknya. Dia seorang diri. Pakaiannya sudah lusuh. Gambaran yang khas ini kupandang sebagai perlambang daripada rakyatku. Aku berdiri disana sejenak memperhatikannya dengan diam. Karena orang Indonesia adalah bangsa yang ramah, maka aku mendekatinya. Aku bertanya dalam bahasa Sunda, "Siapa yang punya semua yang engkau kerjakan sekarang ini?".
Dia berkata kepadaku, "Saya, juragan."
Aku bertanya lagi, "Apakah engkau memiliki tanah ini bersama‐sama dengan orang lain?".
"0, tidak, gan. Saya sendiri yang punya."
"Tanah ini kaubeli?".
"Tidak. Warisan bapak kepada anak turun temurun."
Ketika ia terus menggali, akupun mulai menggali ..... aku menggali secara mental. Pikiranku mulai bekerja. Aku memikirkan teoriku. Dan semakin keras aku berpikir, tanyaku semakin bertubi‐tubi pula.
"Bagairnana dengan sekopmu? Sekop ini kecil, tapi apa ka'il kepunyaanmu juga?"
"Ya, gan."
"Dan cangkul?"
"Ya, gan."
"Bajak?"
"Saya punya, gan."
"Untuk siapa hasil yang kaukerjakan?"
"Untuk saya, gan."
"Apakah cukup untuk kebutuhanmu?"
Ia mengangkat bahu sebagai membela diri. "Bagaimana sawah yang begini kecil bisa cukup untuk seorang isteri dan empat orang anak?"
"Apakah ada yang dijual dari hasilmu?" tanyaku.
"Hasilnya sekedar cukup untuk makan kami. Tidak ada lebihnya untuk dijual."
"Kau mempekerjakan orang lain?"
"Tidak, juragan. Saya tidak dapat membayarnya."
"Apakah engkau pernah memburuh?"
"Tidak, gan. Saya harus membanting tulang, akan tetapi jerih payah saya semua untuk saya."
Aku menunjuk ke sebuah pondok kecil, "Siapa yang punya rumah itu?"
"Itu gubuk saya, gan. Hanya gubuk kecil saja, tapi kepunyaan saya sendiri."
"Jadi kalau begitu," kataku sambil menyaring pikiranku sendiri ketika kami berbicara, "Semua ini engkau punya?"
"Ya, gan."
Kemudian aku menanyakan nama petani muda itu. Ia menyebut namanjy. "Marhaen."
Seorang Marhaen adalah orang yang mempunyai alat‐alat yang sedikit, orang kecil dengan milik kecil, dengan alat‐alat kecil, sekedar cukup untuk dirinya sendiri. Bangsa kita yang puluhan juta jiwa, yang sudah dimelaratkan, bekerja bukan untuk orang lain dan tidak ada orang bekerja untuk dia. Tidak ada penghisapan tenaga seseorang oleh orang lain. Marhaenisme adalah Sosialisme Indonesia dalam praktek." Perkataan "Marhaenisme" adalah lambang dari penemuan kembali kepribadian nasional kami.
Begitupun nama tanah air kami harus menjadi lambang. Perkataan "Indonesia" berasal dari seorang ahli purbakala bangsa Jerman bernama Jordan, yang beladar di negeri Belanda. Studi khususnya mengenai Rantaian Kepulauan kami. Karena kepulauan ini secara geografis berdekatan dengan India, ia namakanlah "Kepulauan dari India". Nesos adalah bahasa Yunani untuk perkataan pulau‐pulau, sehingga menjadi Indusnesos yang akhirnya menjadi Indonesia.

%%%%%

"Mengapa sebuah gunung seperti gunung Kelud meledak? Ia meledak oleh karena lobang kepundannya tersumbat Ia meledak oleh karena tidak ada jalan bagi kekuatan‐kekuatan yang terpendam untuk membebaskan dirinya. Kekuatan‐kekuatan yang terpendam itu bertumpuk sedikit demi sedikit dan ..... DORRR. Keseluruhan itu meletus. "Kejadian ini tidak ada bedanya dengan Gerakan Kebangsaan kita Kalau Belanda tetap menutup mulut kita dan kita tidak diperbolehkan untuk mencari jalan keluar bagi perasaan‐perasaan kita yang sudah penuh, maka saudara‐saudara, nyonya‐nyonya dan tuan‐tuan, suatu saat akan terjadi pula ledakan dengan kita. "Dan rnanakala perasaan kita meletus, Den Haag akan terbang ke udara. Dengan ini saya menantang Pemerintah Kolanial yang membendung perasaan kita. "Apa gunanya kita puluhan ribu banyaknya berkumpul disini jikalau yang kita kerjakan hanya menghasilkan petisi? Mengapa kita selalu merendah diri memohon kepada 'Pemerintah' untuk meminta kebaikan hatinya supaya mendirikan sebuah sekolah untuk kita? Bukankah itu suatu Politik Berlutut? Bukankah itu suatu politik memohon dengan mendatangi Yang Dipertuan Gubernur Djendral Hindia Belanda, yang dengan rnemakai dasi hitam menerima delegasi yang membungkuk‐bungkuk dan menunjukkan penghargaan kepadanya dan menyerahkan kepada pertimbangannya suatu petisi? Dan merendah diri memohon pengurangan pajak? Kita merendah diri ... memohon, merendah diri, memohon ..... Inilah kata‐kata yang selalu dipakai oleh pemimpin‐pemimpin kita.
"Sampai sekarang kita tidak pernah menjadi penyerang. Gerakan kita bukan gerakan yang mendesak, akan tetapi gerakan kita adalah gerakan yang meminta‐minta. Tak satupun yang pernah diberikannya karena kasihan. Marilah kita sekarang menjalankan politik percaya pada diri sendiri dengan tidak mengemis‐ngemis. Hayo kita berhenti mengemis. Sebaliknya, hayo kita berteriak, "Tuan Imperialis, inilah yang kami TUNTUT !

%%%%%


"Engkau tahu apakah Indonesia?". "Indonesia adalah pohon yang kuat dan indah ini. Indonesia adalah langit yang biru dan terang itu. Indonesia adalah mega putih yang lamban itu. Indonesia adalah udara yang hangat ini." Saudara‐saudaraku yang tercinta, laut yang menderu memukul‐mukul ke pantai di cahaya senja, bagiku adalah jiwanya Indonesia yang bergerak dalam gemuruhnya gelombang samudera. Bila kudengar anak‐anak ketawa, aku mendengar Indonesia. Manakala aku menghirup bunga‐bunga, aku menghirup Indonesia. Inilah arti tanah air kita bagiku.

%%%%

"Kita tidak lagi akan membiarkan diri kita secara patuh mengikuti cara hidup yang akan membawa kita kepada kehancuran kita sendiri. Kehidupan yang terdiri dari kelas‐kelas, kasta‐kasta dan yang punya dan tidak punya menimbulkan perbudakan. Di dalam kehidupan modern manusia berjuang untuk meninggikan harkat kehidupan rakyat. Mereka yang tidak menghiraukan hal ini akan dibinasakan oleh rakyat banyak dan oleh bangsa‐bangsa yang berjuang untuk memperoleh haknya. "Kita memerlukan persamaan hak. Kita telah mengalami ketidaksamaan selama hidup kita. Mari kita tanggalkan pemakaian gelar‐gelar. Walaupun saya dilahirkan dalam kelas
ningrat, saya tidak pernah menyebut diriku raden dan saya minta kepada saudara‐saudara mulai dari saat ini dan untuk seterusnya supaya saudara‐saudara jangan memanggil saya raden. Mulai dari sekarang jangan ada seorangpun menyebutku sebagai Tedaking Kusuma Rembesing Madu
"Keturunan Bangsawan". Tidak, aku hanya cucu dari seorang petani. Feodalisme adalah kepunyaan masalah yang sudah dikubur. Feodalisne bukan kepunyaan Indonesia di masa yang akan datang.


%%%%%%

"Cita‐cita yang besar dapat membelah dinding penjara."

%%%%

"Seorang pemimpin tidak berubah karena hukuman. Saya masuk penjara untuk memperjuangkan kernerdekaan, dan saya meninggalkan penjara dengan pikiran yang sama.”

%%%%%

"Kalau ada asap di belakang kapal , tentu ada apinya. Keyakinan ini didasarkan pada pertimbangan akal. 'llmul yakin. Kalau saya berjalan di belakang kapal ini dan melihat api itu dengan mata kepala sendiri, maka keyakinanku berdasarkan penglihatan.'AinuIyakin. Akan tetapi mungkin penglihatan saya salah. Kalau saya memasukkan tangan saya ke dalam api itu dan tangan saya hangus, maka ini adalah keyakinan yang sungguh‐sungguh berdasarkan kebenaran yang tak dapat dibantah lagi. Maka dengan Hakku'lyakin inilah saya memahami,
bahwa kita akan merdeka.

%%%%%

kalau di dalam senyuman indah dari gadis cantik itu terdapat pula Tuhan apakah dengan mengagumi senyuman itu aku berdosa karena berbuat kejahatan? Tidak. Kalau begitu, apabila aku mencintai senyuman indah gadis cantik itu, apabila senyum itu suatu pancaran dari Tuhan dan Dia menciptakan gadis cantik itu sedangkan aku hanya mengagumi ciptaan‐Nya itu, mengapalah dianggap dosa kalau aku memetiknya!.

%%%%%%

daripada sekedar menyuruh melaksanakan"! "Memimpin" adalah lebih berat daripada sekedar "Melaksanakan". "Memimpin" adalah lebih berat
%%%%%%
: "Berdikari bukan saja tujuan, tetapi yang tidak kurang pentingnya harus merupakan prinsip dari cara kita mencapai tujuan itu, prinsip untuk melaksanakan Pembangunan dengan tidak menyandarkan diri kepada bantuan negara atau bangsa lain. Adalah jelas, bahwa tidak menyandarkan diri tidak berarti bahwa kita tidak mau kerja sama berdasarkan sama-derajat dan saling menguntungkan."
%%%%%%
Saya berulang-ulang berkata, bahwa saya merasa berbahagia dan mengucap syukur kehadirat Allah Subhanahu Wata'ala, bahwa saya adalah penyambung- lidah daripada Rakyat Indonesia. Apa yang telah saya katakan dan apa yang akan saya katakan, adalah kehendakmu sendiri, adalah suaramu sendiri, adalah denyut hatimu sendiri.
%%%%
Kita tetap berdiri oleh karena semangat seluruh Rakyat adalah semangat perjuangan, semangat patriot, semangat yang telah berisikan sumpah: Sekali Merdeka, Tetap Merdeka!
%%%%%
siapa yang bisa menahan bulan dan bintang, matahari beredar, dialah yang akan bisa menahan Revolusi Indonesia ini. Dimana ada satu kekuatan duniawi dapat menahan jalannya bintang, bulan dan matahari? Tidak ada, Saudara-saudara. Revolusi Indonesia adalah revolusi sejarah, adalah revolusi yang dilahirkan oleh sejarah dan oleh karena itu tak boleh tidak mesti berhasil, bahkan Revolusi Indonesia ini adalah sebagian saja daripada revolusi besar yang sekarang ini berjalan diseluruh dunia.

Bukan hanya keyakinan, tetapi sudah menjadi sumpah yang mesra. Semua Rakyat Indonesia sudah bersumpah demikian, Alhamdulillah, aku bersumpah demikian, engkau bersumpah demikian, engkau bersumpah demikian, engkau, hai para wanita bersumpah demikian, engkau, hai prajurit bersumpah demikian, engkau, hai perwira bersumpah demikian, engkau, hai pedagang yang duduk disitu, bersumpah demikian, engkau, hai sukarelawan bersumpah demikian, engkau, mahasiswa bersumpah demikian, engkau, mahasiswi bersumpah demikian, kita semuanya telah bersumpah demikian. Bersumpah, bahwa Irian Barat dalam tahun ini juga masuk didalam wilayah kekuasaan kita.
%%%%%%
Internasionalisme tidak dapat hidup subur, kalau tidak berakar di dalam buminya nasionalisme. Nasionalisme tidak dapat hidup subur, kalau tidak hidup dalam tamansarinya internasionalisme.
%%%%
bahwa kalau Badan Perwakilan Rakyat sudah ada, kita dengan sendirinya sudah mencapai kesejahteraan ini. Kita sudah lihat di negara-negara Eropa adalah Badan Perwakilan, adalah parlementaire democratie. Tetapi tidaklah di Eropa justru kaum kapitalis merajalela?
%%%%%

Tidak ada komentar: